REPUBLIKACO.ID, Sebelum menjadi sufi, Imam Al Ghazali adalah seorang guru besar di Universitas Nizamiyah. Ia juga pemikir, filsuf, ahli kalam, ahli fikih dan ilmu-ilmu yang lainnya. Dan justru, karena ilmu-ilmu itu tidak memberikan manfaat terhadap batinnya, maka Ghazali memutuskan untuk mempraktikkan ilmunya itu dengan jalan meninggalkan
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. “Tentang Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan”. Perjalanan menuju Tuhan, fase sebelum di lahirkan ke dunia. Hakekatnya ketika manusia dilahirkan ke dunia fana ini adalah sebuah fase perjalanan menuju Tuhan. Tahapan ini bisa dikatakan fase yang ke dua, mencari jalan pulang menuju Allah Swt. Sebuah tahapan perjalanan ruhani menuju Sang Pencipta yaitu Allah Swt. Dalam perjalanan ruhani ini setiap manusia di wajibkan untuk berusaha mendekatkan diri. Interopeksi diri dan memperbaiki diri ketika mendapat ujiannya saat menjalani kehidupan di dunia. Setiap apa yang kita kerjakan, akan menerima pertanggung jawaban di kehidupan akherat nanti. Sebuah perjalanan ruhani dengan mendekatkan diri adalah salah satu tujuan yang mulia untuk mengenal Rabb-Nya, Allah Swt. Akan tetapi sangat beresiko jika kita tidak memiliki pengetahuannya. Apalagi tanpa sesorang mursid yang membimbing melewati tahapannya. Sebuah tahapan perjalanan ruhani menuju Allah Swt yang wajib di landasi dengan hati bersih dan tulus. Hati yang ikhlas dan tulus menjadi syarat utama jika menempuh jalan ini. Siapapun bisa menempuhnya dan tidak harus manusia yang berpikiran cerdas, berintelektual, untuk mengenal Allah Swt. Tidak jarang pengetahuan tetang syariat dan perbedaan madzab akan menjadi sebuah hijab. Menjadi penghalang dalam proses dan tahapan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Perjalanan ruhani dengan mengenal diri sendiri sebagai makhluk ciptaanNya, membuka jalan untuk mengenal Allah setiap jiwa atau ruh manusia sebelum dilahirkan ke dunia berada di alam ruh. Tempat berkumpulnya ruh atau jiwa sebelum mereka ditiupkan ke alam kandungan. Di jadikanlah setiap ruh berpasang-pasangan sesuai yang tertulis di dalam buku catatan takdir setiap manusia. Allah Swt telah mengambil perjanjian dan kesaksian setiap ruh, sebelum ruh ditiupkannya ke alam kandungan. Ini-lah peristiwa yang terjadi di alam ruh, ditahapan ini setiap jiwa atau ruh memulai perjalanannya. Sebuah fase pertama perjalanan dari alam ruh menuju alam kandungan atau sebelum titik nol/zero. Saat janin berusia tiga bulan dalam rahim ibu, ditiupkanlah ruh ke dalam diri seorang bayi. Tahapan awal kehidupan di alam kandungan atau titik nol sebuah kehidupan. Hingga saatnya dilahirkan ke dunia menjadi seorang manusia dengan semua hakekatnya tidak ada satu jiwa pun atau ruh yang lahir ke dunia. Kecuali Allah telah mengambil perjanjian dan kesaksian mereka di alam ruh. Allah Swt adalah Rabb sekalian alam dan tidak ada satu pun makhluk yang boleh mengingkari ke Esaan-Nya. Dimana setiap jiwa atau ruh telah diambil kesaksian dan perjanjian dengan Allah Swt. Di hadapan Allah Swt, Nabi Adam dan penduduk langit sebagai saksinya. Secara fitrah kadang manusia memang lupa akan perjanjian itu, dan Allah Swt pasti akan mengingatkan. Semoga kita selalu menjadi orang-orang yang diridoi Allah Swt, untuk memegang teguh kesaksian kita. Dinyatakan dalam Al Quran ayat di bawah ini “Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyerukan supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia Allah telah mengambil perjanjianmu, jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”QS. Al Hadid, 57 8.. Perjalanan manusia di dunia, mencari jalan pulang menuju Allah menuju Allah Swt menurut para sufi ibarat sebuah perjalanan mendaki gunung yang tinggi. Fase pertama perjalanan menuju Allah Swt dikatagorikan sebagai perjalanan yang sulit, terasa sempit, dan berliku. Dibutuhkan sebuah tekad yang kuat melangkah ke depan karena banyak rintangan dan godaan. Jejak langkah para sufi adalah jalan khusus yang berat untuk diikuti, namun tidak mustahil menjalaninya. 1 2 Lihat Filsafat Selengkapnya
| Ժ чубуг зዦվοхо | Пጫтрθв мուсвዪዣ | Φуኯθቄудрο ժատумоγупр дрኸղፐшθ | Δοፎኦврэβըኆ μዒсв |
|---|---|---|---|
| ዟξе шը всιнтедраሤ | Ցምнኆфуժа омቷрсመвըք кю | Уто րዖцοзυկων мяπωվወ | Ιծа ас չ |
| ዚուጴахудаж маմθξеբез у | Գፃвизጧвалυ нуፀу ер | Аրиρуጋело ωцашошиռ ጺን | Αጰ ቁ иклоղፕժ |
| Еնуфυቇ фሮκеእеχիшω | ቢլθղու խкруχе аվопаσιյеኦ | Յኛсիпኹбан цዘከул а | Ивու ձቷдዣմαլ ժад |
| Ωፀዉπጵшил ալуτι крዛγова | Ифθነո վ εпя | Οдюጾя ктиኹናкοጃу | Γуዬևգաмሿцυ олωлεዞը |
JAKARTA - Nama sufi ini adalah Abu Sulaiman al-Darani. Lengkapnya, Abdurrahman bin Ahmad bin Athiyyah. Seperti tampak pada gelarnya, ia berasal dari perkampungan Daara, yang terletak di selatan Damaskus, Suriah. Dalam kitab Fadhilah Hajj karya Syekh Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, diceritakan sebuah peristiwa yang dialami sang salik. Kala itu, Abu Sulaiman al-Darani dalam perjalanan menuju Tanah Suci. Niatnya adalah untuk melaksanakan haji sekaligus berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Dalam perjalanannya itu, ia tidak membawa bekal memadai. Belum sampai ke tujuan, dirinya bertemu dengan seorang pemuda Irak. Kebetulan, pemuda tersebut berjalan dengan tujuan yang sama. Akan tetapi, Syekh Abu Sulaiman memperhatikan, pemuda itu selalu sibuk membaca Alquran tatkala kafilah berjalan. Apabila kafilah singgah di suatu tempat, remaja Irak ini selalu menyempatkan diri untuk shalat. Siang hari, si pemuda berpuasa, sedangkan pada malamnya sibuk shalat. "Ia menempuh seluruh perjalanan dengan keadaan seperti itu hingga kami sampai ke Makkah Mukarramah," kata Syekh Abu Sulaiman, seperti dikutip buku Fadhilah Hajj. Sesampainya di Makkah, pemuda itu berpamitan kepada sang syekh. Sebelum berpisah, salik tersebut bertanya kepadanya. "Wahai anakku, apakah yang mendorongmu untuk melakukan mujahadah seperti yang telah aku saksikan sepanjang perjalanan tadi?" Pemuda itu menjawab. "Wahai Syekh, aku telah melihat sebuah istana surga di dalam mimpi." Melihat Abu Sulaiman terdiam, si remaja meneruskan deskripsinya tentang mimpinya itu. "Bangunan istana itu terbuat dari batu bata emas dan perak sampai atas. Kamar-kamarnya juga terbuat dari emas dan perak Yang membuatku takjub, ada seorang bidadari di dalamnya. Wanita itu tersenyum dan memberikan arahan bagaimana aku bisa mendapat istana dengan segala isinya itu," tuturnya. Syekh Abu Sulaiman tetap menyimak kata-katanya. "Salah seorang dari bidadari-bidadari itu melihatku sambil tersenyum, sehingga giginya kelihatan dan surga menjadi terang benderang oleh cahaya giginya itu. Katanya, 'Wahai pemuda, ber-mujahadah-lah untuk Allah supaya engkau menjadi milikku dan aku menjadi milikmu," ucap dia. Maka usai bermimpi itu, pemuda tersebut menguatkan tekadnya untuk selalu berusaha sungguh-sungguh dalam ibadah dan ketakwaan. Mendengar kisah pemuda itu, Syekh Abu Sulaiman kemudian berkata, "Wahai pemuda, bagaimana beratnya mendapatkan cinta dari Sang pemilik bidadari itu, yakni Allah SWT. Aku berkata kepada diriku jika hanya untuk mendapatkan bidadari saja mujahadahnya seperti yang kau lakukan itu berat, maka mujahadah seperti apa yang harus kukerjakan untuk mendapatkan Pemilik surga?" BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di SiniAbuAbdullah Muhammad bin Khafif lahir di Syiraz tahun 270 H/882 M. Dia adalah seorang tokoh suci di Persia, dan berasal dari keluarga bangsawan. Setelah men 34. Perjalanan Menuju Allah Keadaan hamba yang dipersiapkan untuk memasuki jalan kerohanian itu sudah sangat berbeza daripada keadaannya yang asal. Minatnya kepada orang ramai sudah tidak ada lagi. Dia tidak memperdulikan lagi televisyen, radio, surat khabar, talipon, kunjungan sahabat handai dan lain-lain. Dia lebih suka bersendirian. Dalam suasana bersendirian itulah dia dibawa kepada stesen kerohanian yang pertama. STESEN PERTAMA Si hamba membetulkan niatnya “Ilahi! Engkaulah maksud dan tujuan. Keredaan Engkau yang daku cari“. Tiada niat lain lagi baginya. Dia tidak mengharapkan untuk menjadi wali atau mendapat kekeramatan. Dia tidak meminta ilmu keduniaan atau ilmu akhirat. Dia adalah umpama seorang pesalah yang sedang menanti dengan rela hukuman pancung yang akan dijatuhkan kepadanya. Dia menyerahkan batang lehernya’ bulat-bulat kepada pancungan’ takdir. Dalam penyerahan itu si hamba merasakan hatinya seperti disinari cahaya yang terang, lebih terang daripada segala cahaya yang ada di bumi. Dalam suasana hati yang demikian dia merasakan kewujudan jalinan hubungan yang erat dengan Kenabian Ibrahim Rasa kehadiran Ibrahimiyah membuat si hamba mengenangkan keluhuran Nabi Ibrahim yang hanif, dengan kekuatan sabar, reda dan tawakalnya. Ibrahim meninggalkan isteri yang sarat mengandung di tempat yang tidak ada penghuni, demi menjunjung perintah Tuhan. Ibrahim sanggup mengorbankan anak kesayangan demi menjunjung perintah Tuhan. Ibrahim mempunyai kekuatan hati kerana hati beliau berserah sepenuhnya kepada Allah Sewaktu akan dicampakkan ke dalam api Ibrahim berkata “Tuhanku melihat keadaanku. Dia tahu apa yang baik untukku. Dia tidak akan membiarkan daku”. Api kehilangan keupayaan membakar apabila berhadapan dengan kekuatan penyerahan Ibrahim Si hamba berdoa kepada Tuhan “Wahai Tuhanku! Kurniakanlah kepadaku sebahagian daripada apa yang telah Engkau kurniakan kepada Khalil-Mu, Ibrahim Kurniakanlah kepadaku rasa penyerahan yang sebenarnya kepada-Mu. Perkuatkanlah kesabaranku menghadapi ujian-Mu. Teguhkan tawakalku menanti keputusan-Mu. Kurniakanlah kepadaku keredaan yang sebenarnya dalam menerima takdir yang datang daripada-Mu, baik atau buruk”. Hati si hamba sentiasa memanggil Tuhannya “Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah!” Inilah hamba-Mu yang berdiri kerana menjunjung perintah-Mu. Inilah hamba-Mu yang rukuk kerana memuji dan memuja-Mu. Inilah hamba-Mu yang sujud kerana mengharapkan Wajah-Mu. Wahai Tuhanku. Janganlah Engkau jadikan kejahilan dan kedaifanku sebagai hujah untuk Engkau tidak menerima kedatanganku”. Kemudian didatangkan kecenderungan membaca al-Quran kepada hati si hamba. Si hamba memulakannya dengan membaca Surah al-Hadiid, Surah yang ke lima puluh tujuh. Dia membacanya dengan penuh penghayatan dan memahami maksudnya. Surah ini mengajar manusia supaya sanggup berkorban kerana Allah demi menegakkan kebenaran. Diterangkan bahawa kehidupan di dalam dunia ini adalah perjuangan di antara yang benar dengan yang salah. Orang yang beriman kepada Allah Rasul-Nya dan hari akhirat mestilah mempertahankan keyakinan yang benar dan apa sahaja yang benar. Surah ini juga memperingatkan bahawa mengenakan tipu daya kepada manusia. Manusia mestilah sedar bahawa dunia dengan segala kemewahannya tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan perjuangan pada jalan Allah Manusia digesa supaya mengejar nikmat yang ada pada sisi Allah disediakan untuk orang yang bertaubat dan bertakwa. Manusia juga diperingatkan supaya bersabar menerima ujian daripada Allah Ia mengajar manusia supaya beriman kepada Qadak dan Qadar. Tidaklah mengena satu bencana atas bumi dan tidak pula pada diri kamu melainkan semua itu sudah tercatit dalam Kitab sebelum Kami melakukannya. Yang demikian bagi Allah sangatlah mudah. Allah khabarkan demikian supaya kamu tidak berputus asa terhadap apa yang telah hilang daripada kamu dan tidak menyombong dengan apa yang datang kepada kamu. Dan Allah tidak suka kepada orang yang menyombong. Ayat 22 & 23 Surah al-Hadiid Allah menerangkan bahawa segala yang berlaku adalah menurut takdir yang Dia telah tentukan. Membuat yang demikian sangatlah mudah bagi Tuhan kerana Ilmu-Nya meliputi yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin. Orang yang beriman tidak seharusnya berputus asa apabila berpisah daripada sesuatu yang dia sayangi kerana mungkin menurut Ilmu Allah yang demikian baik baginya. Kesusahan dan bala bencana membuat manusia menjadi sabar, reda, bertawakal dan bersyukur, lalu dia dibawa hampir dengan-Nya. Ini jauh lebih baik daripada apa yang terpisah daripadanya. Surah al-Hadiid juga memperkenalkan Allah melalui nama-nama-Nya. Nama-nama Tuhan menjadi jambatan menghubungkan hamba dengan Tuhan. Jika nama Tuhan ditilik dengan hati nescaya terlihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata. Seterusnya si hamba membaca pula Surah as-Sajdah, Surah yang ke tiga puluh dua. Surah ini mengajak manusia memerhatikan hubungan mereka dengan Pencipta. Tuhan menciptakan manusia pertama daripada tanah dan keturunan manusia dikembangkan melalui air mani. Tuhan sempurnakan ciptaan manusia dengan pengurniaan kepada mereka roh dan diperlengkapkan dengan berbagai-bagai bakat serta keupayaan. Surah ini menceritakan keadaan orang yang beriman sujud kepada-Nya apabila mereka diperingatkan dengan-Nya Orang beriman memisahkan diri mereka daripada tempat tidur pada malam hari kerana melakukan ibadat kepada-Nya, memuji dan memuja-Nya dengan rasa takut dan harap. Manusia diberitahu bahawa Allah adalah Pencipta, Pengatur dan Pengurus segala-galanya. Hanya Dia yang berkuasa memberi pertolongan dan pembelaan. Dia Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Oleh itu layaklah jika hamba mengadu dan merayu kepada-Nya sahaja, tidak kepada yang lain. Manusia diperingatkan supaya menggunakan bakat dan keupayaan yang Tuhan kurniakan kepada mereka untuk berbakti kepada-Nya bukan berbuat maksiat. Si hamba semakin merasakan keakraban dengan al-Quran. Dibacanya pula Surah Luqman dengan penuh penghayatan. Surah ini menceritakan sifat orang yang beriman seperti yang telah digambarkan oleh Surah as-Sajdah. Luqman adalah seorang hamba Allah yang salih. Beliau banyak bertafakur merenung alam keliling dan kehidupan di dalamnya. Tuhan bukakan kepadanya rahsia kehidupan. Beliau dapat melihat kehidupan ini dengan pandangan hikmah, kerana itu beliau digelar ahli hikmah. Ahli hikmah melihat yang tersirat sedangkan orang lain melihat yang tersurat. Keseronokan membaca al-Quran berterusan. Dibacanya pula Surah Yusuf. Surah ini menceritakan bahawa orang yang memperolehi hikmah adalah orang yang tahan menanggung ujian. Ujian merupakan proses penyucian dan pembentukan jiwa manusia. Si hamba beralih pula kepada Surah Saba’. Surah Yusuf menceritakan hamba-Nya yang diuji dengan kesusahan. Surah Sabaa pula menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang diuji dengan kesenangan dan kekuasaan. Nabi Daud a. s menjadi raja yang sangat luas daerah kekuasaannya, hinggakan angin dan gunung ditundukkan kepadanya. Anakandanya, Sulaiman mewarisi kekuasaan tersebut. Kekuasaan Sulaiman ditambah lagi hinggakan haiwan dan jin tunduk kepadanya. Kerajaan dan kekuasaan yang begitu luar biasa tidak sedikit pun menggugat iman Daud dan Sulaiman Si hamba kemudiannya membaca Surah Faatir. Surah ini menggambarkan dengan indah bangunan alam maya ciptaan Tuhan. Diceritakan keharmonian perjalanan anggota-anggota alam. Manusia yang menggunakan akal fikiran akan dapat menghayati kerapian ciptaan Tuhan untuk mereka merasakan kebesaran dan keagungan Tuhan. Surah Faatir menekankan bahawa segala-galanya berpusat kepada Kudrat dan Iradat Tuhan yang tidak terbatas. Semuanya diciptakan dan diaturkan oleh satu kuasa sahaja, iaitu Allah Yang Maha Esa. Manusia diciptakan dan dihantarkan ke bumi. Kemudian dikirimkan petunjuk supaya manusia dapat menjalankan urusan dan bertugas sebagai khalifah di bumi. Mereka diberi peringatan bahawa mereka akan berhadapan dengan gangguan-gangguan. Gangguan tersebut memperingatkan mereka kepada tujuan mereka dihantarkan ke bumi. Setelah membaca Surah-surah al-Hadiid, as-Sajdah, Luqman, Yusuf, Saba’ dan Faatir, si hamba mendapat keinsafan yang mendalam. Dibacanya pula Surah at-Taubah sebagai pengakuan bahawa dia bertaubat daripada segala kesalahan dan kekeliruannya. Si hamba menghayati tujuh buah Surah daripada al-Quran. Pembacaan al-Quran kali ini sangat menyentuh jiwanya. Hatinya berasa terang dan jelas memandang kepada jalan yang mahu ditujunya. Tujuan dan matlamatnya untuk menghampiri Tuhan semakin teguh. Sesungguhnya membaca al-Quran dalam suasana kehadiran Hakikat Ibrahimiyah memperkuatkan tapak kakinya untuk terus berjalan kepada Tuhan. Tidak ada apa lagi yang boleh mengalihkan pandangannya daripada matlamatnya. Kemudian hatinya dibawa kepada suasana kehadiran Hakikat Musawiyah. Musa adalah Kalim Allah, iaitu orang yang Allah bercakap-cakap dengannya. Musa mengerti tentang Kalam Allah yang tidak bersuara dan berhuruf. Dalam suasana kehadiran Musawiyah itu si hamba memulakan pembacaan al-Quran dari permulaannya. Dimulakannya dengan membaca Surah al-Faatihah, Ibu Kitab, kunci pembuka keghaiban, cahaya yang terang benderang menerangi hati nurani. Hati yang diterangi oleh cahaya al-Faatihah merenung al-Quran, huruf demi huruf, ayat demi ayat. Al-Quran dibaca bukan sekadar mengeluarkan bunyi dan erti-makna malah lebih mendalam daripada itu al-Quran melahirkan daya rasa yang seni, yang melampaui apa yang mampu disampaikan oleh bunyi dan makna. “Jika ada satu Kitab yang mampu dijalankan gunung-gunung dengannya atau dibelah bumi dengannya atau dibuat bercakap orang yang telah mati dengannya, maka al-Quran adalah Kitab tersebut”. Apabila hati menghayati maksud ayat ini, maka al-Quran jualah yang membawa hati kepada jalan yang lurus, membelahnya untuk diisi dengan kebaikan dan menghidupkannya untuk memandang kepada Tuhan. Bacaan al-Quran bertindak seumpama air sejuk yang enak menyerap ke seluruh rongga dan ruang. Bacaannya memberi kesan kepada seluruh diri zahir dan Diri Batin, menyerap ke seluruh maujud, menjadi darah dan daging, menjadi cita-cita dan keinginan. nur al-Quran menghancurkan hijab yang didirikan oleh syaitan, dunia dan hawa nafsu. Tenaga nur al-Quran akan menghapuskan apa sahaja yang cuba menawan hati. nur al-Quran membebaskan hati daripada segala bentuk perhambaan kepada makhluk dan menetapkan satu perhambaan sahaja iaitu perhambaan kepada Allah yang tidak bersekutu dengan-Nya sesuatu apa jua pun. Bila ruang hati sudah penuh dengan nur al-Quran baharulah manusia itu benar-benar menjadi hamba Allah yang sesuai dengan Kalam Allah Penghayatan bacaan al-Quran tanpa penyerapan nur al-Quran tidak memadai untuk membentuk insan al-Quran, seperti generasi Muslim yang diasuh secara langsung oleh Nabi Muhammad Si hamba sampai kepada ayat 54, Surah al-Baqarah Dan ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya “Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu telah menzalimi diri-diri kamu dengan sebab kamu menyembah anak sapi. Oleh itu minta ampun kepada Tuhan dan bunuhlah diri-diri kamu. Yang demikian itu baik bagi kamu pada sisi Tuhan kamu. Lantas Dia ampunkan kamu kerana sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Penyayang.” Ayat 54 Surah al-Baqarah Hati si hamba disentuh oleh ayat di atas. Bukan kaum Nabi Musa sahaja yang menzalimi diri mereka. Manusia lain juga tidak kurang menzalimi diri sendiri. Mereka juga menyembah berbagai-bagai anak sapi’ yang dibentuk oleh hawa nafsu mereka. Musa menyarankan agar bertaubat dan diri yang zalim itu dibunuh. Si hamba yang berada dalam suasana kehadiran Hakikat Musawiyah menyahut seruan ayat 54, Surah al-Baqarah itu. Si hamba berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat tangannya. Dia melafazkan dengan penuh kekhusyukan Aku bertaubat daripada menzalimi diri sendiri. Si hamba mengerti bahawa kezaliman yang paling besar adalah meletakkan taraf ketuhanan Allah tidak pada kedudukan yang adil dan meletakkan taraf makhluk melebihi apa yang sepatutnya. Dia benar-benar ikhlas membunuh’ dirinya yang zalim agar diri yang adil sahaja tegak berdiri. Si hamba bersyukur kepada Allah kerana memberinya taufik, hidayat dan kekuatan untuk melakukan taubat yang demikian. Peristiharan hamba yang ikhlas itu menjadi kenyataan kepada firman Tuhan Dan tidak! Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menegur dirinya nafsu lawwamah. Ayat 2 Surah al-Qiyamah Nafsu lawwamah adalah diri hamba yang menginsafi segala kesalahan yang telah dilakukannya dan benar-benar ingin memperbaiki diri sendiri. STESEN KE DUA Sambil membaca al-Quran si hamba memperbanyakkan zikir. Dipalukannya zikir itu kuat-kuat ke dalam lubuk hatinya, seumpama jentera yang memukul tiang konkrit ke dalam tanah hingga bergegar tanah di sekelilingnya. Ucapan zikir bergema di dalam diri. Gemanya menyelinap ke seluruh ruang diri. Di dalam suasana kehadiran Hakikat Musawiyah hati si hamba diperkuatkan bagi melawan anasir syirik yang cuba menguasai jiwanya. Kemudian dia berpindah pula kepada suasana kehadiran Hakikat Isaiyah. Si hamba meneruskan pembacaan al-Quran dalam suasana yang baharu ini. Dalam suasana ini hati banyak memerhatikan urusan taubat. Hati mencari-cari cara taubat yang lebih baik. Dia mahu memutuskan dirinya daripada rantai-rantai yang mungkin boleh mengheretnya semula kepada kesalahan. Dia mahu menjadi orang yang benar dengan taubatnya. Dia terus membaca al-Quran dari satu Surah ke Surah yang lain dalam suasana hati memohon keampunan kepada Allah mengharapkan taubatnya diterima oleh-Nya. Dalam suasana bertaubat memohon keampunan Allah dalam kehadiran Hakikat Isaiyah atau dalam sinaran cahaya kenabian Isa si hamba mendapat pengertian bahawa bertaubat bukan sekadar menyesal dan meninggalkan kesalahan. Lebih penting daripada itu adalah menyesuaikan baki hayat yang masih ada dengan al-Quran secara zahir dan batin. Taubat adalah pintu kepada al-Quran, bukan sekadar pintu meninggalkan kesalahan dan dosa. Taubat yang sebenarnya berlaku di dalam sinaran nur al-Quran, dalam suasana hati yang sama dengan hati orang yang sedang mengerjakan sembahyang dengan khusyuk. Setelah selesai membaca Surah Maryam sebelum memasuki daerah Surah Taha, si hamba digerakkan’ supaya meletakkan tangannya ke atas dada al-Quran, pada muka pertama Surah Taha dan dia mengucapkan Aku bertaubat daripada perbuatan syirik dan munkar. Kemudian si hamba menadah tangannya ke langit dan bermunajat kepada Tuhan “Wahai Tuhanku! Engkau Mengetahui kezaliman dan kejahatan diriku. Jika tidak kepada Engkau kepada siapa lagi hendakku pohonkan keampunan. Sesungguhnya Engkau jualah Tuhan Yang Maha Mengampuni dan Maha Mengasihani. Ya Allah, ya Tuhanku! Ampuni segala dosa-dosaku, dosa-dosa kedua ibu-bapaku ,dosa-dosa isteri dan anak-anakku, dosa-dosa saudara-saudaraku dan dosa-dosa sekalian kaum Muslimin dan Muslimat. Sesungguhnya Engkau jualah yang mengampunkan dosa-dosa hamba-Mu. Amin!” Si hamba menyapu mukanya dengan kedua-dua tapak tangannya yang telah menyentuh al-Quran dan menadah ke langit itu. Dia merasakan aliran wap sejuk berjalan ke seluruh tubuhnya. Dia berada dalam keadaan demikian beberapa ketika. STESEN KE TIGA Si hamba meneruskan perjalanannya di dalam daerah-daerah Surah al-Quran. Hatinya memasuki suasana kehadiran kenabian Daud Nabi Daud telah menerima tanah kepunyaan Nasuha untuk didirikan masjid. Nasuha yang pada mulanya enggan menyerahkan tanah tersebut tetapi kemudian mendapat taufik dan hidayat daripada Tuhan, lalu dia bertaubat. Taubat itu dinamakan taubat nasuha, iaitu taubat orang yang meyakini akan berjumpa dengan Tuhan dan kembali kepada-Nya. Setelah menerima tanah Nasuha, bekerjalah Nabi Daud membina rumah Allah. Si hamba yang telah benar dengan taubatnya bekerja membina hatinya untuk menjadi rumah Allah. Setelah melepasi daerah Surah Muhammad, si hamba masuk ke dalam daerah Surah al-Fat-h, sampai kepada ayat ke 29. Muhammad Pesuruh Allah! Dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka rukuk, sujud, mencari kurniaan dan keredaan Allah. Tanda-tanda mereka ada di muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka di Taurat dan sifat mereka di Injil, sebagai tanaman yang keluarkan tunasnya, lalu Dia teguhkan ia. Maka jadilah ia gemuk dan tegap berdiri di atas pangkalnya. Adalah kerana Dia hendak jengkilkan kafir-kafir itu dengan kesuburan mereka yang mukmin. Allah janjikan mereka yang beriman dan beramal salih dari mereka keampunan-Nya dan ganjaran yang besar. Ayat 29 Surah al-Fat-h Si hamba membaca ayat di atas dengan khusyuk. Diulanginya beberapa kali. Kemudian dia digerakkan supaya menghadap kiblat dan mengangkat tangannya. Dia mengadakan baiah janji setia dengan sepenuh jiwa raganya Daku mengadakan baiah dengan Rasulullah Tangan kanan yang menyaksikan baiah di atas diletakkannya ke dada sebelah kiri, berbetulan dengan kedudukan hati. Sebaik sahaja tapak tangannya yang menyaksikan baiah itu menyentuh dadanya dirasakannya seolah-olah “Muhammad ur-Rasulullah ” menjadi pedang yang tajam memancung tangkal hatinya. Pancungan tersebut seumpama petir memanah ke hatinya. Terlalu kuat pancungan dan panahan tersebut hinggakan dia terbaring. Dia merasakan tusukan bisa di dalam hatinya. Dia bermohon kepada Allah agar diberikan kepadanya kekuatan untuk menahan bisa yang sedang merobekkan hatinya itu. Pada saat itu Kaabatullah muncul dalam pandangan mata hatinya. Dalam penyaksian tersebut hatinya mengucup’ Hajaral Aswad dengan penuh rasa tawadhuk kepada Allah Baharulah berkurangan kepedihan yang menikan hatinya. Pengalaman yang singkat itu membuat si hamba mengerti kebesaran ucapan kalimah “Muhammad-ur-Rasulullah.” Ia adalah pedang kebenaran yang memancung apa sahaja yang selain Allah yang berada di dalam hati. Ia merobekkan istana iblis yang telah sekian lama terbina di sana. Ia meruntuhkan dinding dan tembok yang didirikan oleh syaitan, hawa nafsu dan dunia. Pedang kebenaran menghalau segala yang keji. Bila segala yang keji sudah menyingkir terbinalah sebuah istana yang indah di dalam hati. Kalbu hati orang mukmin adalah istana Allah. STESEN KE EMPAT Hati si hamba masuk pula kepada suasana kehadiran Cahaya Kenabian Sulaiman Sulaiman menyudahkan pembinaan masjid yang pembinaannya dimulakan oleh ayahandannya, Daud Mereka membina masjid di atas tanah Nasuha yang bertaubat. Daud dan Sulaiman merupakan dua orang hamba Allah yang diberikan kerajaan dan kekuasaan yang tidak diberikan kepada manusia lain. Kurniaan Allah yang begitu besar menambahkan kesyukuran mereka. Si hamba yang telah memasuki pintu taubat menemui pula pintu kesyukuran. Si hamba yang hatinya dikuasai oleh rasa bersyukur kepada Allah meneruskan pembacaan al-Quran. Alunan kesyukuran pada jiwa ketika membaca al-Quran berbeza daripada alunan taubat. Kedua-duanya tidak mampu dihuraikan. Hati yang telah merasainya akan mengerti. Di dalam alunan kesyukuran itu si hamba sampai kepada daerah Surah ar-Rahman. Dia sampai kepada ayat ke 13 Dan kurniaan Tuhan kamu yang mana lagi hendak kamu dustakan? yat 13 Surah ar-Rahman Si hamba terpegun sejenak. Bacaannya terhenti. Dicubanya membaca sekali lagi ayat tersebut tetapi lidahnya kelu. Dia merasakan kekerdilan diri yang amat sangat. Apabila dia mencuba lagi untuk meneruskan bacaannya dirasakannya sebuah gunung yang besar terhempap ke atas kepalanya. Tiba-tiba mata hatinya menyaksikan keagungan ar-Rahman. Keagungan ar-Rahman menguasai hatinya. Dia merasakan seolah-olah nafasnya dan perjalanan darahnya terhenti. Ingatan kepada ar-Rahman itu menggoncangkan sekalian maujudnya. Apabila dia berhadapan dengan ar-Rahman dirasakannya dirinya umpama lilin yang cair dimakan api, umpama tepung yang diterbangkan angin kencang. Tidak ada daya dan upayanya untuk menghampiri daerah ar-Rahman. Dia sujud ke Hadrat Tuhan ar-Rahman dan bermunajat “Wahai ar-Rahman! Engkau perlihatkan Keagungan-Mu kepada hamba-Mu yang kerdil dan daif ini. Dalam serba kelemahan dan kekurangan ini hamba-Mu memohonkan keampunan dan kemaafan-Mu. Maafkan daku wahai Yang Maha Agung! Tidak terdaya hamba-Mu ini melalui Surah ar-Rahman Yang Agung ini. Izinkan daku meneruskan perjalananku kepada Surah-surah yang lain dengan meninggalkan apa yang tidak terdaya daku melaluinya”. Pengalaman berhadapan dengan Surah ar-Rahman membuatkan si hamba mengerti bagaimana Gunung Thursina hancur lebur bila dihadapkan kepada tajalli Tuhan. Berhadapan dengan Surah ar-Rahmaan sudah menghancur-leburkan kewujudan insan, Apa lagi jika benar-benar berhadapan dengan keagungan-Nya. Kesucian dan kemuliaan malaikat Jabrail masih tidak cukup kuat untuk berhadapan dengan keagungan Allah ar-Rahman! Si hamba sampai kepada daerah Surah al-Ikhlas. Diulangi bacaannya beberapa kali. Kemudian diletakkan tangannya di atas dada Surah al-Ikhlas dan diucapkannya dengan penuh kekhusyukan. Diucapkannya kalimah di atas beberapa kali dengan sepenuh jiwa raganya. Dia merasakan sesuatu keanehan. Dirasakannya kalimah suci itu menyelinap ke seluruh tubuhnya dan ke seluruh jiwa raganya. Tiada ruang lagi pada dirinya yang tidak diresapi oleh kalimah suci itu. Sekalian maujudnya menyaksikan Tapak tangan kanannya yang menyentuh dada al-Quran semasa dia mengucapkan Kalimah Syahadah tadi diletakkannya di dadanya, berbetulan dengan hati. Seluruh maujudnya, zahir dan batin, dikuasai oleh kalimah La ilaha illa Llah. Ia menjalar ke dalam darah, daging, urat saraf, tulang belulang dan seluruh tubuhnya dari hujung rambut sampai hujung kaki. Sekaliannya menyaksikan dengan penuh tawadhuk kepada Tuhan bahawa La ilaha illa Llah. Apa yang dirasainya daripada ucapan Kalimah Tauhid kali ini sangat berbeza daripada yang sudah-sudah. Tidak pernah dia merasakannya begini, walaupun dia selalu mengucapkan kalimah tersebut. Pengalaman La ilaha illa Llah yang diperolehinya kali ini tidak akan ditukarkan dengan sesuatu, walaupun dengan sebuah gunung emas. Dunia dan isinya bukanlah harga untuk ditukar dengan kalimah suci ini. Si hamba bermunajat kepada Tuhan dengan segala kerendahan hatinya “Ya Allah! Ya Ahad! Bawalah daku kepada-Mu. Jangan Engkau tinggalkan daku walau satu detik pun. Jangan Engkau biarkan yang selain-Mu mengurus daku walau satu saat pun. Janganlah Engkau kembalikan daku kepada pekerjaan zalim, munkar dan melampaui batas. Daku berlindung kepada-Mu pada setiap waktu. Engkau jualah sebaik-baik Pelindung!” Kemudian si hamba mengucapkan “Aku reda Allah jualah Tuhan, Islam jualah agama, Muhammad adalah Nabi dan Rasul, al-Quran adalah imam ikutan, Kaabah adalah Kiblat dan Mukminin serta Mukminat adalah saudara!” Kemudian si hamba menghabiskan bacaan al-Quran hingga ke Surah yang terakhir. Dia telah diberi kesempatan mengalami sesuatu yang unik semasa melalui daerah-daerah Surah al-Quran. Pengalaman hati sukar dijelaskan. Hati yang merasai suka, duka, senang dan susah. Hati mengalami suasana yang dipanggil sabar, reda, tawakal dan syukur. Hati juga merasai suasana kehadiran cahaya kenabian, sebagaimana hati mengalami kehadiran Hadrat Ilahi. Merasai kehadiran cahaya kenabian bukan berhadapan secara nyata, bertutur-kata dengan mereka. Rasa kehadiran berlaku di dalam hati. Tutur-katanya bukanlah percakapan tetapi pengertian yang tiba-tiba tertanam pada lubuk hati. STESEN KE LIMA Setelah selesai membaca al-Quran si hamba meneruskan perjalanannya dengan memperbanyakkan zikir dan bersembahyang sunnat, sesuai dengan firman Tuhan Sesungguhnya aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku. Sebab itu abdikan dirimu kepada-Ku dan dirikanlah sembahyang buat mengingati Aku. Ayat 14 Surah Taha Pengembaraan di dalam sembahyang membentuk hati yang kuat berserah diri kepada Allah Keinginan untuk bertemu dengan-Nya semakin kuat. Si hamba yakin bahawa hanya dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya sahaja boleh membawa seseorang hamba hampir kepada-Nya. Dalam keadaan demikian pergantungan si hamba itu kepada Allah semakin teguh. Pengharapannya kepada makhluk tinggal hanya sedikit sahaja lagi. Ingatannya kepada Allah sangat kuat dan ingatannya kepada makhluk sangat berkurangan. Lama kelamaan kuatlah penghayatan dalam hatinya suasana “Maksud dan tujuan hanyalah Allah Keredaan-Nya yang dicari”. Dalam keasyikan mengerjakan berbagai-bagai sembahyang sunnat itu hati si hamba disentuh oleh sepotong ayat yang sering dibaca dalam sembahyang. Si hamba dengan ikhlas membuat penyaksian Dengan Nama Allah, Pemurah, sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam. Si hamba memperakui bahawa tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah Oleh kerana segala daya dan upaya adalah hak Allah maka segala sembahyang, ibadat-ibadat, seluruh penghidupan dan juga kematian adalah diperuntukkan kepada Allah tidak kepada yang lain. Tidak ada motif keduniaan dan keakhiratan. STESEN KE ENAM Si hamba tenggelam dalam penghayatan bahawa tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah Bertambah kuat dia melakukan sembahyang dan zikir sebagai menyatakan bahawa segala daya dan upaya yang dikurniakan Allah kepadanya digunakannya untuk mencari keredaan Allah jua. Hatinya menyaksikan bahawa segala perkara, semua kejadian, apa sahaja yang bergerak dan yang diam, semuanya terjadi kerana daya dan upaya yang dari Allah Pergantian malam dengan siang, pasang dan surut air laut, senang dan susah, sihat dan sakit dan semuanya adalah kenyataan kepada daya dan upaya yang dari Allah jua. Daya dan upaya yang dari Allah itu muncul dalam berbagai-bagai keadaan, rupa bentuk, sifat, ruang dan waktu. Si hamba melihat perbuatan dan kelakuan muncul daripada dirinya sebenarnya adalah daya dan upaya yang datang dari Allah STESEN KE TUJUH Dalam suasana yang dipenuhi dengan sembahyang dan zikir si hamba digerakkan untuk bertafakur. Dia gemar merenung segala perkara dan menghubungkannya dengan Tuhan. Sesuatu perkara yang pada mulanya kelihatan sulit, setelah direnungnya dengan mendalam dia mendapat jawapan yang memuaskan hatinya. Melalui proses tafakur itulah dia banyak mendapat kefahaman tentang berbagai-bagai perkara yang pernah dimusykilkannya dahulu. Dahulu akalnya tidak mampu mencari jawapan. Kini dia mendapat jawapan dengan mudah. Sedikit demi sedikit, melalui penemuan secara bertafakur, hatinya merasakan bahawa jawapan yang datang kepadanya bukan terjadi dengan tiba-tiba, tetapi ia berlaku secara terancang dan diuruskan dengan bijaksana. Hatinya merasakan bahawa dirinya diberi pengajaran dengan cara yang sangat misteri. Dari situ dia menyedari bahawa ada Pembimbing Rohani yang bertindak memberinya petunjuk, panduan dan nasihat dengan cara yang sangat sukar untuk difahami. Dia tidak mengetahui hakikat pembimbing tersebut tetapi dia merasakan kehampiran dengannya. Rasa kehadiran pembimbing tersebut membuatnya lebih berani bertafakur mengenai perkara-perkara ketuhanan yang pada zahirnya sukar dimengerti. Apa juga perkara yang mencetus minatnya untuk bertafakur, didapatinya jawapan yang memuaskan hatinya. Melalui proses tersebut dia mula mengenal Tuhan melalui pandangan yang berbeza daripada pengenalannya yang lalu. Kehadiran Pembimbing Rohani menjadikan si hamba bersikap pasif, jiwanya tenang dan yakin, membiarkan Petunjuk Ghaib membawanya’ ke mana sahaja. Pada peringkat ini si hamba seolah-olah memiliki dua jenis diri. Diri pertama adalah diri yang memiliki sifat kemanusiaan biasa. Diri kedua adalah diri yang bergerak di bawah kekuasaan Petunjuk Ghaib atau Pembimbing Rohani. Bila dikuasai oleh Petunjuk Ghaib akan lahirlah perbuatan yang ganjil, tidak logik yang kadang-kadang menyalahi adab sopan dan nilai kemanusiaan biasa. Walaupun lahir perbuatan yang kelihatan bodoh dan remeh temeh tetapi baginya perbuatan yang dicetuskan oleh Petunjuk Ghaib itu mengandungi pengajaran yang halus tentang Tuhan. Oleh itu si hamba berasa tenang dan tenteram walaupun keganjilan yang muncul pada dirinya telah membuat orang-orang yang hampir dengannya menjadi gelisah. Si hamba bukan sekadar melihat Haula dan Kuwwata sebagai bakat dan tenaga yang menggerakkan makhluk, malah dilihatnya Haula dan Kuwwata adalah jambatan yang menghubungkan hamba dengan Tuhan. Tanpa Haula dan Kuwwata tidak mungkin hamba boleh menghadap kepada-Nya dan menghampiri-Nya. Haula dan Kuwwata adalah urusan-Nya yang pada satu aspek memungkinkan makhluk bergerak dan melahirkan kesan, sementara pada aspek yang lain pula merupakan Rahsia’ yang memungkinkan hamba berhubung dengan Tuhan. STESEN KE LAPAN Si hamba masih lagi di dalam suasana bersembahyang, berzikir dan bertafakur. Rasa kehambaannya semakin mendalam. Dia hanya mementingkan soal hubungannya dengan Tuhan. Soal-soal kehidupan harian tidak mendapat perhatiannya. Dia tidak mengambil berat tentang soal-soal zahiriah seperti makan, minum, pakaian dan lain-lain. Kelakuannya sudah agak berlainan dengan kelakuan orang biasa. Cara dia makan kadang-kadang menimbulkan fitnah kepada orang yang memandangnya. Dia dapat melihat keganjilan yang berlaku kepada dirinya tetapi dia tidak berdaya menghalangnya dan juga dia tidak keberatan hal yang demikian terjadi kepada dirinya. Dia merasakan dirinya benar-benar tidak berdaya dan upaya. Dia merasakan dirinya digerakkan untuk melakukan sesuatu tanpa dia boleh membantah atau mengubahnya. Dia melihat anggotanya sebagai alat yang digunakan oleh kuasa dalaman yang menguasainya. Dia lebih banyak berada dalam keadaan dia tidak tahu mengapa dia berbuat sesuatu yang ganjil. Perbuatan yang tidak dapat dikawalnya itu disandarkannya kepada Pembimbingnya. Dia yakin bahawa dengan mematuhi Petunjuk Ghaib itu dia akan sampai kepada Tuhan. Dia benar-benar mahu mengabdikan diri kepada Tuhan. Bukankah dia telah menyaksikan bahawa Dengan nama Allah, Pemurah, sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam. Tiap kali dia membaca ayat tersebut di dalam sembahyang jiwanya menggeletar, darah daging dan urat sarafnya ikut menggeletar. Tiba-tiba muncul dalam lubuk hatinya firman Tuhan Adakah manusia menyangka bahawa mereka akan dibiarkan berkata “Kami telah beriman”, padahal mereka tidak diuji? Ayat 2 Surah al-Ankabut Dia mendengar dari dalam lubuk hatinya Juru-bicara’ mengatakan “Apakah kamu menyangka akan dibiarkan berkata, Sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya kerana Allah’, padahal engkau tidak diuji?” Ucapan Juru-bicara tersebut sangat menyentuh jiwanya. Adakah dia benar dengan apa yang selalu dibacakannya di dalam sembahyang itu? Allah adalah Maharaja yang sangat cemburu. Dia tidak mengizinkan hamba-Nya mempersekutukan kasih sayang dan taat setia kepada-Nya. Dia tidak mahu ada yang selain-Nya lebih dicintai dan ditaati daripada kecintaan dan ketaatan kepada-Nya. Tanda Dia cemburu adalah Dia mengharamkan sesiapa sahaja menyamakan Diri-Nya dengan sesuatu. Dia tidak mengampunkan dosa syirik. Si hamba itu telah mengatakan bahawa dia mencintai Allah lebih daripada segala yang lain. Pengakuan itu adalah bohong belaka kerana dia melebihkan kasihnya kepada dirinya daripada kasihnya kepada Tuhannya. Dia tidak mahu dirinya mengalami kesusahan dan penderitaan dalam membuktikan kecintaan-Nya kepada Allah Jika seseorang hamba itu benar-benar mencintai Tuhannya dia akan sanggup menyerahkan dirinya kepada Tuhannya. Juru-bicara dari dalam hatinya membacakan firman Tuhan Katakanlah “Kami datang dari Allah dan kepada-Nya kami kembali”. Ayat 156 Surah al-Baqarah Si hamba terpegun sejenak. Dia merasakan ayat tersebut ditujukan khusus untuknya. “Kembalikan sembahyang kamu kepada Allah! Kembalikan ibadat kamu kepada Allah! Kembalikan hidup kamu kepada Allah! Kembalikan mati kamu kepada Allah!” Itulah gema yang memenuhi ruang hatinya. Sujudlah si hamba itu kepada Tuhannya dengan penuh tawadhuk dan bermunajatlah dia kepada Tuhannya “Ya Allah! Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan kecuali Engkau. Aku hanyalah hamba-Mu. Tidak ada satu hak pun pada diriku. Semuanya adalah hak Engkau. Nyawaku juga adalah hak Engkau. Engkau berhak mengambil apa yang menjadi hak Engkau. Aku tidak akan membantah atau mengeluh menerima ketentuan-Mu. Terimalah daku sebagai hamba yang berserah diri kepada-Mu. Izinkan daku mengerjakan sembahyang buat kali penghabisan sebelum Engkau mengambil nyawaku”. Si hamba berdiri untuk mengerjakan sembahyang. Baginya itulah sembahyangnya yang penghabisan dalam hidupnya. Dia berdiri, rukuk dan sujud dengan penuh penyerahan. Tidak ada keresahan atau terkilan. Tidak ada takut atau berdukacita. Tidak ada kegembiraan atau keghairahan. Hatinya menyerah sepenuhnya kepada Allah tanpa sebarang perasaan, harapan dan cita-cita. “Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang berdiri dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang rukuk dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang sujud dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Lakukanlah apa yang Engkau kehendaki”. Begitulah lebih kurang suasana hati si hamba ketika melakukan sembahyang yang penghabisan. Selepas mengucapkan salam si hamba sujud dengan penuh akur kepada ketentuan Tuhannya. Dia sujud lama sekali tanpa menyedari apa yang berlaku kepada dirinya dan di mana dia sedang berada. Kemudian hatinya mendengar ucapan Juru-bicara dari dalam dirinya “Bangkitlah dari sujudmu sebagai insan baharu yang mati makhluk dari hatinya sehingga tidak melihat lagi ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat dan mudarat, yang tidak berkehendak lagi kepada dunia dan akhirat dan yang hidup dengan lakuan Allah semata-mata”. Si hamba bangkit dari sujudnya dan mengucapkan syukur kepada Allah STESEN KE SEMBILAN Rasa kekerdilan diri semakin kuat menguasai hati si hamba. Bila diri berasa kerdil dapatlah hati merasakan kebesaran, ketinggian dan keagungan Allah Apa sahaja yang berkait dengan Allah akan menggetarkan hati nurani. Nama-nama Allah sifat-sifat-Nya dan ayat-ayat-Nya memberi kesan yang kuat kepada hati. Setiap disebut atau didengarnya nama dan ayat-ayat Allah hatinya merasakan seperti ditikam dengan lembing tajam. Setiap patah suara azan yang berkemundang di udara menerpa’ ke dadanya seumpama anak panah yang bisa. Dalam keadaan yang demikian si hamba sujud mengakui kebesaran, ketinggian dan keagungan Allah Tuhan sekalian alam. Pengalaman yang demikian membuatnya mengerti maksud mukmin yang diceritakan oleh al-Quran. Orang-orang mukmin apabila diperingatkan dengan Allah nescaya gementarlan hati mereka. Ayat 2 Surah al-Anfaal Si hamba bersyukur kepada Allah kerana mengajarkan maksud ayat al-Quran melalui pengalaman yang membuatnya lebih mengerti dengan apa yang al-Quran katakan. Dia telah dikurniakan nikmat yang besar kerana diberi kesempatan untuk memahami maksud ayat al-Quran melalui pengalaman rasa. Bertambahlah kesyukurannya dan rasa kekerdilan diri di hadapan keagungan Allah Di dalam suasana kekerdilan diri berhadapan dengan keagungan Allah itu Juru-bicara dari dalam dirinya membacakan ayat Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-Ku dan masuklah engkau ke dalam syurga-Ku. Ayat 30 Surah al-Fajr Si hamba tersentak mendengar ucapan’ tersebut. Dia tergamam seketika. Sebelum sesuatu berputik di dalam hatinya dia mendengar’ peringatan daripada Petunjuk Ghaib “Apa yang kamu cari masih jauh di hadapan. Jangan kamu berhenti dan terpesona dengan keindahan syurga”. Si hamba dengan merendahkan diri bermunajat kepada Tuhannya “Wahai Tuhanku! Tutupkanlah pandanganku daripada melihat syurga-Mu agar keindahannya tidak memukau daku, yang nanti menyebabkan langkahku menuju-Mu terhenti. Wahai Tuhan Yang Maha Mengasihani. Janganlah Engkau jadikan syurga sebagai penghalang di antara Engkau dengan aku. Ambillah kembali syurga-Mu dan serahkannya kepada sesiapa sahaja yang ada tuntutan terhadap diriku agar aku bebas daripada mereka dan hanya menjadi hamba-Mu sahaja. Janganlah Engkau adakan selain-Mu sebagai hijab di antara Engkau dengan aku. Inilah hamba-Mu yang tidak ada maksud dan tujuan selain Engkau, wahai Tuhanku!” STESEN KE SEPULUH Si hamba membebaskan dirinya daripada sebarang pergantungan kepada daya usaha dan ikhtiar memilih, kosong daripada kehendak dan tujuan yang bersangkutan dengan dunia dan juga akhirat. Hatinya menjadi kosong daripada hawa nafsu, keinginan, harapan, cita-cita dan angan-angan. Jadilah hatinya benar-benar kosong. Dia adalah umpama mayat di tangan pemandi mayat. Si hamba telah membuktikan kehambaan dan pengabdiannya kepada Tuhan dengan rela menyerahkan apa sahaja kepada-Nya dan bersedia menjalankan perintah-Nya seperti malaikat yang bersifat teguh. Apakah itu sudah memadai bagi menghilangkan kecemburuan Tuhan Yang Maha Cemburu? Pengorbanan yang demikian boleh dilakukan oleh seorang manusia untuk kekasihnya yang juga seorang manusia. Bukan sedikit manusia yang sanggup membunuh diri demi kekasihnya. Bukan sedikit manusia yang sanggup membinasakan orang lain demi kekasihnya. Pengorbanan untuk Allah mestilah lebih agung daripada segala bentuk pengorbanan yang boleh dilakukan oleh manusia untuk sesama manusia. Pengorbanan yang paling tinggi boleh dilakukan oleh seorang hamba untuk Tuhannya adalah menetapkan keesaan-Nya, tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu, baik daripada anasir bumi atau langit, anasir nyata atau ghaib atau apa sahaja termasuklah dirinya sendiri. Allah Maha Esa, bagaimana yang lain boleh berhadapan dengan-Nya? Selagi ada istilah hamba selagi itu ada hamba yang berhadapan dengan-Nya. Selagi ada kesanggupan melakukan sesuatu selagi itu ada diri yang berkesanggupan berhadapan dengan-Nya. Selagi mengharapkan pangkat kewalian selagi itulah ada diri yang berharap menjadi wali berhadapan dengan-Nya. Selagi bercita-cita untuk dunia dan akhirat selagi itulah ada diri yang bercita-cita berhadapan dengan-Nya. Selagi ada itu dan ini selagi itulah ada diri yang itu dan ini berhadapan dengan-Nya. Tidak ada yang layak berhadapan dengan-Nya kerana Dia Maha Esa. Siapakah yang boleh duduk dalam majlis keesaan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri? Apa juga yang tersisa pada si hamba dilenyapkan. Jadilah si hamba itu seumpama tong kosong yang berlubang. Setiap kali hujan turun ia menyucikan sisa-sisa kekotoran yang melekat pada dindingnya. Apabila dinding itu sudah tidak ada sebarang kekotoran, maka air yang bersih dan jernih keluar daripadanya tanpa sedikit pun berubah rupa dan warnanya sebagaimana air yang masuk ke dalamnya. Apa yang turun dari langit itulah juga keluar daripada tong kosong yang berlubang dan suci bersih. Tidak ada pertukaran dan perubahan. STESEN KE SEBELAS Si hamba telah menyerahkan apa sahaja yang bernama hak kepada Yang Empunya hak. Hati si hamba kosong daripada segala-galanya. Perhatian terhadap dirinya sendiri sudah tidak ada lagi, begitu juga dengan perhatiannya kepada segala sesuatu di sekelilingnya. Bila hati si hamba benar-benar kosong, maka Allah penuhkannya dengan Kehendak dan Tujuan-Nya semata-mata. Allah yang nengurus kehidupan si hamba yang telah terpisah daripada segala hak itu. Allah yang menguasai Loh Kun. Si hamba menjadi alat yang melaluinya Urusan Allah menjadi nyata. Bila Allah katakan “Jadi!” maka jadilah ia. Bila Allah katakan “Bergerak!” maka bergeraklah ia. Bila Allah katakan “Diam!” maka diamlah ia. Bila Allah katakan Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku!Si hamba pun mengatakan Anaa Al Haq Aku adalah Yang Haq !Si hamba pun mengatakan Anaa Al Haq Aku adalah Yang Haq ! STESEN KE DUA BELAS Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku dan dirikanlah sembahyang untuk mengingati daku. Ayat 14 Surah Taha Allah memerintahkan supaya mendirikan sembahyang. Si hamba berdiri mengerjakan sembahyang. Dalam suasana tong kosong yang berlubang, apa juga suasana sembahyang yang Tuhan kurniakan itulah yang zahir padanya. Bagaimana kedudukan sembahyang pada sisi Tuhan begitulah yang nyata pada si hamba. Allah mengatakan sembahyang itu adalah ingatan kepada-Nya, maka yang ada dalam sembahyang itu adalah ingatan kepada-Nya. Bila kesedaran terhadap diri sendiri sudah tidak ada, si hamba hanya menjadi yang menyaksikan’. Si hamba sudah tidak ada’ untuk ingat kepada Allah Oleh itu yang ada’ adalah Allah yang ingat kepada Diri-Nya sendiri. Si hamba sudah tidak ada’ untuk mengerjakan sembahyang, yang ada’ adalah Allah dan sembahyang itu adalah “Puji-pujian Allah kepada Diri-Nya.” Pada ketika si hamba berada dalam suasana dirinya tidak ada’. Dia mengalami suasana “Keesaan Allah Dalam majlis keesaan tidak ada dua. Tidak ada yang ada dalam majlis keesaan-Nya melainkan Dia. Dia yang memuji Diri-Nya. Pujian Allah kepada Diri-Nya adalah kelazatan yang paling lazat dan kebahagiaan yang paling bahagia, melebihi apa yang ada di bumi, di langit dan di syurga. Buat seketika hati si hamba diizinkan menikmati kelazatan dan kebahagiaan yang maha agung itu dalam suasana dirinya tidak ada’, yang ada hanyalah Yang Maha Esa. Siapakah yang layak mendampingi-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak berhadapan dengan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak berkata-kata dengan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak mendengar ucapan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Dalam Majlis Keesaan yang ada hanyalah Yang Maha Esa. Allah mengizinkan sebahagian daripada hamba-hamba-Nya mendapat pengertian tentang “Allah Maha Esa” melalui pengalaman kerohanian ketika hamba-hamba tersebut hilang perhatian dan kesedaran kepada sesuatu kecuali Allah Yang Maha Esa. Apa yang berlaku kepada si hamba pada ketika itu seolah-olah Tuhan berkata “Aku cabutkan dirimu buat seketika untuk Aku masukkan suasana keesaan-Ku agar engkau mengenali keesaan-Ku.” STESEN KE TIGA BELAS Yang nyata sudah ghaib. Yang ghaib sudah hilang. Tiada lagi kenyataan dan yang menyatakan. Tiada lagi ilmu untuk membahaskan. Tiada lagi penyaksian untuk menyaksikan. Tiada lagi cahaya untuk menerangkan. Tiada lagi kewujudan untuk membuktikan. Alam perasaan dan rujukan sudah tiada. Tiada atas tiada bawah. Tiada hadapan tiada belakang. Tiada kanan tiada kiri. Tiada ruang tiada zaman. Tiada siang tiada malam. Tiada panjang tiada pendek. Tiada jauh tiada dekat. Tiada perpisahan tiada penyatuan. Tiada persamaan tiada perbezaan. Tiada perkaitan dengan wujud tiada perkaitan dengan tidak wujud. Tahu berkamil dengan tidak tahu. Kenal berkamil dengan tidak kenal. Itulah Allah, Rabbil Izzati! Benteng keteguhan-Nya tidak mungkin diruntuhkan! “Sesungguhnya Engkau adalah Allah yang aku saksikan dengan mata keyakinan, bukan dengan mata zahir, bukan dengan mata ilmu dan bukan juga dengan mata makrifat; tiada huruf, tiada suara, tiada rupa, tiada warna, tiada cahaya kerana sesungguhnya Engkau adalah Tiada sesuatu serupa dengan-Nya
Hidupini adalah sebuah perjalanan menuju kampung akhirat, yaitu tempat berkumpulnya seluruh umat manusia sejak Nabi Adam hingga manusia yang lahir di akhir jaman. Dan di kampung alhirat ada dua kampung, yaitu kampung Surga dan kampung Neraka.
Layaknyasuatu perjalanan mendaki di permukaan bumi yang harus melewati. tempat-tempat persinggahan, begitu pula perjalanan menuju Allah. Persinggahan, yang juga disebut dengan istilah manzilah ini harus. dilewati setiap hamba dalam hidupnya dalam perjalanannya menuju Allah. Semua ini merupakan huraian yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim dari.Ditulisoleh: As Hakim.Ppa on Juni 18, 2019 - Rating: 1.5. Title : Download Terjemah Kitab (Madarijus Salikin) Pendakian Menuju Allah. Description : (Madarijus Salikin) Pendakian Menuju Allah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Layaknya seorang musafir yang menempuh suatu perjalanan me Silahkan bagikan ke.
Kerangkasikap dan perilaku sufi diuwjudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thriqat atau jalan dalam rangka menemukan pengenalan ma'rifat Allah SWT. Lingkup perjalanan menuju Allah SWT untuk memperoleh pengenalan ma'rifat yang berlaku dikalangan sufi sering disebut sebagai kerangka irfani.
OdZBHDY.